Kasus pencabulan dan persetubuhan terhadap santriwati hafalan Al Qur’an yang dilakukan Kiai Subechan (50) Pimpinan Ponpes Sirojul Ulum di Jombang memang benar-benar memperihatinkan dan mencoreng kalangan pesantren.
Bagaimana tidak, para santriwati berparas cantik berusia antara 15 sampai 17 tahun ini sebenarnya ingin menimba ilmu dan menghafal Al Qur’an. Tapi justru mendapat perlakuan tak senonoh dari kiainya.
Data resmi Polres Jombang, ada 6 korban yang dicabuli dan disetubuhi sang kiai dengan modus didoktrin dan diberi ajaran sesat yang menyatakan berhubungan badan itu tidak apa-apa hingga mereka sangat terpaksa menurutinya.
Kini, sejumlah santriwati yang menjadi korban persetubuhan dan pencabulan Kiai S ini telah menjalani trauma healing dan mendapat pendampingan dari Lembaga Pendampingan dan Perlindungan Anak (LP2A), bersama Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2T-P2A) Kabupaten Jombang.
Muhammad Sholahuddin, Ketua LP2A Kabupaten Jombang mengatakan, para santriwati ini harus patuh terhadap kiai, lalu mendapat pemahaman yang keliru, dan itu yang membuat mereka takut menolak perlakuan cabul dari tersangka.
“Yang mereka pahami, kiai adalah sosok yang harus dihormati. Kiai ini meyakinkan santri bahwa melakukan itu (pencabulan dan persetubuhan) tidak apa-apa. Akhirnya santri dengan sangat terpaksa menerima perlakuan itu. Saat tersangka diproses hukum, anak-anak bahagia. Pengakuan para korban sudah dua tahun mereka menerima teror psikis,” kata Sholahuddin, seperti dikutip dari detik.com.
Perbuatan asusila ini membuat para korban mengalami tekanan batin. Mereka pun menjalani pemulihan di selter milik P2T-P2A Jombang, dan kini berhasil pulih dari trauma yang mereka alami.
“Kondisi para korban sudah mulai ceria, sudah bisa bercerita tanpa beban. Mereka gembira bisa kembali ke keluarganya tanpa disalahkan, mereka tak lagi ditakut-takuti akan mendapat perlakuan itu kembali. Karena sebenarnya mereka risih, jijik dan menolak (disetubuhi atau dicabuli),” tambahnya.
Para korban juga tidak trauma untuk melanjutkan belajar menghafal Al-Qur’an di pesantren, tapi tidak lagi di ponpes pimpinan Kiai S di Kecamatan Ngoro, Jombang. “Trauma mondok tidak ada. Sejak awal mereka niatnya menghafalkan Al-Qur’an. Mereka ingin melanjutkan mondok di tempat lain,” ujarnya.
Sementara untuk mengantisipasi kejadian serupa, Sholahuddin mengimbau para santri tidak terkekang doktrin kaku tentang ketaatan terhadap kiai. Juga selalu menjalin kpmunikasi yang baik dengan orang tua. “Harus ada kontrol dari Kemenag. Harus terdata, terverifikasi semua pesantren yang ada supaya tidak memberi celah tindakan seperti ini,” tandasnya.(tim/spo)