Baritan Takir Plontang, Ritual Warga Blitar Peringati Suroan

Ritual warga saat suroan/Foto: Erliana Riady


Blitar – Masyarakat Desa Kalipucung Kecamatan Sanankulon, Blitar menggelar baritan takir plontang. Baritan digelar saat Suroan ini menyesuaikan hari nahas desa tersebut, yakni Minggu Legi.

Baritan dilakukan memperingati Tahun Baru Hijriah dalam Islam, atau 1 Suro dalam bulan Jawa. Ritual di Blitar ini pelaksanaannya selalu di simpang empat atau tiga jalan desa. Tikar digelar sepanjang jalan, menyesuaikan jumlah kepala keluarga (KK) yang hadir di ritual desa tersebut.

Di Desa Kalipucung sendiri, setiap lingkungan menggelar ritual atau baritan sendiri-sendiri. Di lingkungan Kulon Kuburan Kalipucung ini, ada sekitar 30 KK yang ikut hadir dalam baritan yang dilaksanakan Sabtu (22/8/2020) malam. Atau malam Minggu Legi, hari tepat meninggalnya tokoh yang membabat desa tersebut pada zaman dahulu kala.

“Jadi tiap desa itu ada hari nahas, tepat meninggalnya punden, atau danyangan atau tokoh yang membuka (Babad) desa. Baritan biasanya dilaksanakan saat geblak atau hari meninggalnya punden desa tersebut. Kalau Desa Kalipucung hari nahasnya Minggu Legi,” kata seorang tokoh Desa Kalipucung, Wasis Kuntoaji, Minggu (23/8/2020).

Usai salat Isya’ warga mulai berdatangan sambil membawa takir plontang. Yakni makanan tradisional yang diwadahi daun pisang yang dibentuk kotak persegi. Diberi nama plontang, karena di tiap ujung takir, diselipkan sepotong janur kuning yang ditancapkan tegak lurus.

“Takir plontang, itu simbol kami memanjatkan doa harapan pada Tahun Baru Hijriah. Dengan adanya janur kuning, wujud tunas baru (muda) dari pohon kelapa, kami simbolkan harapan baru, kehidupan baru di tahun baru Islam bisa segera tercapai,” ungkapnya.

Jumlah takir plontang yang dibawa saat baritan, lanjut Wasis, menyesuaikan jumlah anggota keluarga. Jika di dalam rumah itu ada empat orang, maka takir plontang yang dibawa baritan juga empat takir. Takir kemudian ditata berjajar di atas tikar yang telah digelar di jalan.

“Baritan selalu di perempatan atau pertigaan jalan. Kami panjatkan doa keselamatan, agar roh-roh jahat yang ada di jalan tidak mengganggu manusia. Dan supaya di jalan itu tidak terjadi kecelakaan atau hal-hal yang merugikan manusia selama di jalan,” tutur anggota DPRD Kabupaten Blitar ini.

Saat semua hadir, takir plontang tertata rapi, lantunan doa dipanjatkan. Doa dipimpin tiga orang, pertama tokoh masyarakat tukang ngujubne, doa dengan bahasa Jawa. Disusul tokoh Islam yang memimpin doa dan tahlil dan diakhiri dengan doa keselamatan dan kesejahteraan semua warga desa.

“Setelah di kajatne coro Jowo (Setelah berdoa cara Jawa), baru berdoa secara Islam, baru didoakan bersama-sama. Baru takir dimakan bersama-sama. Ada juga yang dibawa pulang,” jelas Wasis.

Sayangnya, pelaksanaan tradisi baritan semalam tidak menerapkan protokoler kesehatan. Warga yang hadir, tidak ada yang memakai masker. Mereka juga tidak menjaga jarak, duduk di atas tikar dengan berdempetan. Menurut Wasis, pihaknya kesulitan mengedukasi warga tentang pentingnya menerapkan protokoler kesehatan.

“Wong deso mbak … angel tuturane. Soale deso kene durung ono sing keno COVID-19 mbak (Orang desa mbak, susah dinasihati. Sebab, warga desa sini belum ada yang kena COVID-19 mbak.) Ya semoga desa sini tidak pernah ada yang terkena Corona,” pungkasnya.

Sumber: detik.com (naskah berita asli)

INI 8 FAKTA, Wanita di Mojokerto Nekat Buang Bayinya Hingga Ditangkap Polisi

Baca juga :