Mojokerto – Sebanyak 566 perempuan di Mojokerto baru saja menyandang status janda selama tiga bulan pandemi Corona. Faktor ekonomi yang tak kunjung mapan menjadi pemicu paling dominan keretakan rumah tangga di Bumi Majapahit ini.
Pengadilan Agama Mojokerto memvonis 566 perkara perceraian selama virus Corona mewabah. Perceraian selama Maret-Mei 2020 itu paling banyak diajukan pihak perempuan, atau cerai gugat, yaitu 421 perkara. Sedangkan jumlah cerai talak yang diajukan pihak pria hanya 145 perkara.
Dengan begitu, 566 perempuan di Mojokerto menjadi janda baru selama tiga bulan terakhir. Perpisahan pasangan suami istri tersebut mayoritas dipicu persoalan ekonomi.
“Faktor penyebab perceraian paling banyak ekonomi. Baik selama pandemi Corona maupun sebelum pandemi,” kata Ketua Pengadilan Agama Mojokerto Asrofi kepada wartawan di kantornya, Jalan Raya Prajurit Kulon, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Kamis (11/6/2020).
Persoalan ekonomi menjadi pemicu perceraian paling dominan setiap bulan selama pandemi COVID-19. Dari 276 perceraian selama Maret, 167 perkara karena ekonomi. Disusul faktor pertengkaran terus menerus 62 perkara, meninggalkan salah satu pihak 45 perkara, KDRT dan poligami masing-masing 1 perkara.
Selama April 2020 terjadi 190 perceraian di Mojokerto. Dari jumlah itu, 102 perkara dipicu masalah ekonomi, murtad 1 perkara, pertengkaran terus menerus 70 perkara, poligami 2 perkara, serta meninggalkan salah satu pihak 15 perkara.
Sedangkan dari 180 perceraian selama Mei, 120 perkara juga dipicu persoalan ekonomi. Disusul karena pertengkaran terus menerus 32 perkara, meninggalkan salah satu pihak 26 perkara, judi 1 perkara, serta karena madat atau narkoba 1 perkara.
“Perceraian paling banyak dalam usia perkawinan 1-5 tahun. Kemudian yang kedua usia perkawinan 5-10 tahun. Yang 10 tahun ke atas sedikit sekali persentasenya,” ungkapnya.