Pengasuh Amanatul Ummah, KH Asep Saifuddin Chalim menyatakan alasan penolakannya terkait vaksin astra Vaksin AstraZeneca, pihaknya menilai vaksin tersebut haram karena mengandung tripsin pankreas babi.
Informasi yang dihimpun oleh suarajawatimur.com, penolakan tersebut berpedoman pada Fatwa MUI pusat yang menyatakan vaksin AstraZeneca haram, tapi boleh digunakan dalam kondisi darurat.
Menurut Kiai Asep, Pesantren Amanatul Ummah tidak dalam kondisi darurat. Karena belum ada seorang pun di lingkungan pesantren tersebut yang terinfeksi COVID-19 selama setahun lebih pandemi. Sehingga dia melarang keras vaksin AstraZeneca disuntikkan ke 12.000 santri dan mahasiswa, serta 1.000 lebih tenaga pendidik Amanatul Ummah.
Kiai Asep mengkritik Fatwa MUI Jatim yang menyatakan vaksin AstraZeneca halal dan bagus (halalan thoyiban). Dia menilai fatwa tersebut salah karena hanya menggunakan alasan istihalah atau perubahan bentuk dan ihlak atau penghancuran. MUI Jatim yakin tripsin pankreas babi yang digunakan dalam produksi vaksin AstraZeneca tidak lagi menjadi najis karena sudah berubah bentuk.
“Istihalah di situ disamakan dengan Ihlak, penghancuran, tidak ada nilai-nilai babinya. Istihalah dan ihlak tertangkal oleh Intifak. Yaitu bisa menjadi vaksin sebab ada (tripsin) pankreas babinya. Intifak itu bukti yang tidak bisa dihilangkan. Buktinya apa? Jadi vaksin. Tanpa ada pankreas babinya tidak akan jadi vaksin. Keharaman intifak, baru pada pemikiran saja sudah haram, apalagi sudah ada realisasinya,” kata Kiai Asep kepada wartawan di Institut KH Abdul Chalim, Desa Bendunganjati, Kecamatan Pacet, Mojokerto, Sabtu (27/3).
Ia menjelaskan, Imam Syafii dan Imam Hambali mengajarkan, istihalah atau perubahan bentuk dari benda najis menjadi tidak najis hanya berlaku pada tiga hal. Yaitu ketika arak berubah secara alami menjadi cuka, kulit yang diambil dari bangkai selain babi dan anjing, serta ayam yang menetas dari telur yang dikeluarkan dari ayam mari.(Mya/tim)
Redaksi : Suara Jawa Timur
Sumber : Detik.com (Naskah Berita Asli)