Tiga anak di bawah umur terkait kasus ujian kenaikan sabuk silat berujung maut di Kecamatan Jatirejo meminta keringanan hukuman setelah dituntut 6 tahun 8 bulan penjara.
Mereka menyatakan tidak sengaja melakukan kekerasan sehingga mengakibatkan tewasnya MUA, 17, santri asal Surabaya.
Permintaan itu disampaikan ketiga terdakwa melalui kuasa hukum Rizkie Erviana pada sidang pembelaan di Pengadilan Negeri Mojokerto, Senin (31/7).
Dalam nota pleidoinya, Rizkie menyatakan, peristiwa meninggalnya korban bukan karena perbuatan yang direncanakan para terdakwa.
”Jadi para terdakwa ini meniru para pendahulunya saat mereka mengikuti ujian sabuk silat,” kata Rizkie usai sidang.
Dirinya juga menyampaikan tentang ketidaktahuan para terdakwa terhadap aturan dan tata cara ujian dalam perguruan silat. Utamanya terkait izin penyelenggaraan acara dan keamanan peserta. ”Sehingga meninggalnya korban karena perbuatan yang tidak disengaja,” tegasnya.
Selama persidangan, menurut Rizkie, ketiga terdakwa telah bersikap sopan. Mereka juga menyatakan menyesal dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Kepada majelis hakim, dia meminta vonis yang seadil-adilnya. ”Kami memohon hukuman seringan-ringannya,” jelasnya pengacara perempuan tersebut.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum Fachri Dohan Mulyana menuntut hukuman 6 tahun 8 bulan penjara kepada masing-masing terdakwa.
Mereka meliputi MN, 17, warga Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto; IS, 17, warga Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto; dan EW, 15, warga Indramayu, Jawa Barat.
Ketiganya diyakini terbukti melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan meninggal dunia sebagaimana dakwaan tunggal Pasal 80 ayat 3 juncto Pasal 76C UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Seperti diberitakan, MUA, 17, santri ponpes di Kota Mojokerto asal Surabaya tewas usai mengikuti ujian kenaikan sabuk silat di ponpes di Desa Gebangsari, Kecamatan Jatirejo, Senin (26/6) malam.
Remaja laki-laki tersebut dinyatakan meninggal dunia setelah dibawa ke Puskesmas Dinoyo, Selasa (27/6) pagi.
Selang sehari, polisi menetapkan lima orang tersangka. Terdiri tiga anak yang kini diadili dan dua tersangka dewasa yakni IH dan AM.
Belakangan polisi menemukan keterlibatan satu pelaku dewasa lain yakni IB saat rekonstruksi dan menetapkannya sebagai tersangka ke enam.
Tiga tersangka dewasa itu merupakan pelatih silat korban sedangkan dua anak sebagai santri pondok tempat ujian dan satu anak teman seperguruan korban.
Dalam persidangan terungkap, MUA tewas usai belasan kali dipukul menggunakan tongkat pramuka di perut dan tangan. Korban juga berkali-kali ditendang dan dipukul di bagian perut, punggung, dan kepala.
Setelah mendapat berbagai pukulan dan tendangan, korban menjalani tarung sabung lalu pingsan hingga akhirnya meninggal. Hasil otopsi menunjukkan, korban mati lemas karena pendarahan pada pankreas.
Mengacu Pasal 81 ayat 2 UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hukuman penjara yang dijatuhkan kepada anak berkonflik dengan hukum adalah separo dari ancaman orang dewasa.
Dengan demikian, sesuai pasal dakwaan, ketiganya hanya bisa dijatuhi hukuman maksimal 7,5 tahun penjara dari ancaman dewasa yakni 15 tahun penjara. (rdm/ram)
sumber : radarmojokerto